Widget HTML Atas


KPK dan Drama Korea Vincenzo

Oleh : Agus Dwi Prasetyo,
Wartawan Jawa Pos

    Bagaimana seseorang bisa menjadi jahat? Pengacara mafia Vincenzo Cassano punya jawabannya. Yaitu ketika seseorang sudah tidak tahu malu. Penggemar Netflix barangkali tidak asing dengan Vincenzo. Ya, tokoh yang diperankan Song Joong-ki dalam serial drama Korea berjudul Vincenzo itu menyita perhatian publik Indonesia belakangan ini.

    Dalam serial itu, Song Joong-ki berduet dengan Jeon Yeo-been yang memerankan tokoh Hong Cha-young. Mereka bersama penghuni Plaza Geumga berjuang membongkar kejahatan besar yang dilakukan korporasi Babel Group dan kantor hukum Wusang.

    Salah satu episode serial tersebut bercerita tentang jaksa Jung In-kuk. Awalnya, jaksa yang dikenal punya integritas tinggi itu berpihak pada Vincenzo dan Hong Cha-young. Jaksa itu seolah menjadi tumpuan terakhir Vincenzo dan Cha-young untuk memenjarakan CEO Babel Jang Han-seok (Ok Taec-yeon).

    Singkat cerita, pada akhirnya integritas Jung In-kuk tidak bisa diharapkan. Dia berkhianat. Alih-alih menangkap Jang Han-seok dengan bukti konkret dari Vincenzo, Jung In-kuk justru ‘menjual’ integritasnya demi jabatan. Dia memilih bersekutu dengan Han-seok yang dikenal memiliki pengaruh politik yang kuat di kejaksaan, tempat Jung In-kuk mengabdi.

    Vincenzo dan Cha-young tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Kepada Vincenzo, Jung In-kuk mengakui kesalahan fatalnya dan minta diampuni. Meski begitu marah, sebagai mantan pengacara mafia, Vincenzo tidak membunuh Jung In-kuk yang berkianat. Vincenzo cukup mengatakan bahwa Jung In-kuk tidak tahu malu.

    Kekecewaan Vincenzo dan Cha-young barangkali mewakili pegiat antikorupsi dan masyarakat di Indonesia saat ini. Ibaratkan saja Jung In-kuk sebagai perwujudan penyidik KPK AKP Stepanus Robin Pattuju yang ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga antirasuah Kamis (22/4) malam.

    Sebagai penyidik KPK, Robin ibarat tumpuan akhir pemberantasan korupsi. Namun, dia justru mengkhianati kepercayaan orang-orang yang bertumpu padanya. Dan pada akhirnya harapan masyarakat yang ingin koruptor tinggal di penjara pupus sudah.

    Robin mungkin bukan Jung In-kuk yang ‘melacurkan’ seragamnya untuk mengejar jabatan. Namun, keduanya punya kesamaan. Sama-sama menghianati kepercayaan orang-orang yang mendukung pemberantasan korupsi. Keduanya sama-sama mengangkangi amanah suci menyeret koruptor ke jeruji besi.

    Ditilik dari konstruksinya, perkara yang melilit Robin sebetulnya bukan modus baru. Lulusan akademi kepolisian (akpol) 2009 itu diduga menerima suap Rp 1,3 miliar dari Walikota Tanjungbalai M. Syahrial. Duit itu untuk mengkondisikan perkara dugaan suap jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai.

    Robin tidak sendiri. Uang dari Syahrial itu juga mengalir ke Markus Husain, pengacara yang merupakan rekan Robin. Pertemuan antara Robin, Markus Husain dan Syahrial juga tidak ujug-ujug. Mereka dipertemukan oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin.

    Kasus yang menjerat Robin menjadi ujian integritas bagi KPK. Untuk membuktikan bahwa lembaga antirasuah masih bisa diharapkan, Ketua KPK Firli Bahuri dkk mestinya tidak sekadar memprioritaskan pembangunan konstruksi penuntutan untuk Robin. Tapi juga membongkar jejaring ‘pelacuran’ penyidik di dalam tubuh KPK itu sendiri. Juga mengejar peran Azis sebagai terduga makelar kasus (markus).

    Pimpinan KPK mesti melihat bahwa nilai integritas adalah harga mati penegak hukum yang tak bisa ditawar. Dan harus dipahami bahwa penyimpangan nilai integritas itu adalah penyakit kronis berbahaya yang mengancam kredibilitas secara kelembagaan. Maka dari itu harus segera diobati.

    Apalagi, ‘penyakit’ semacam itu bukan sekali dua kali mencoreng nama KPK. Di tahun 2006, penyidik KPK AKP Suparman divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta atas kasus pemerasan saksi PT Industri Sandang Nusantara.

    Berikutnya pada 7 April 2017, empat orang penyidik dari kepolisian terekam CCTV tengah bergotong royong merusak dokumen catatan keuangan perusahaan Basuki Hariman. Keempat penyidik itu Roland Ronaldy, Harun, Rufriyanto Maulana Yusuf dan Ardian Rahayudi. Dua diantaranya, yakni Roland dan Harun, dikembalikan ke Polri saat itu.

    Cerita miring di KPK tahun ini cukup masif. Masih hangat di telinga publik tentang kabar pencurian barang bukti (barbuk) emas sebanyak 1,9 kilogram yang dilakukan pegawai KPK. Oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK, pegawai berinisial IGAS yang bertugas di satuan tugas (satgas) pada Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) itu diberhentikan secara tidak hormat 8 April lalu.

    Belum lagi kabar tentang dugaan bocornya beberapa informasi penggeledahan yang diduga dilakukan pihak internal KPK. Diantaranya, penggeledahan di rumah anggota DPR dari Fraksi PDIP Ihsan Yunus pada 24 Februari di Jakarta. Kemudian penggeledahan di kantor PT Jhonlin Baratama di Kalimantan Selatan pada 9 April.

    Pencurian barbuk, bocornya informasi penggeledahan, hingga penerimaan suap dari pihak berperkara sudah lebih dari cukup menampar wajah lembaga antikorupsi. Jika merasa tertampar, pihak-pihak pemegang otoritas kebijakan pemberantasan korupsi mestinya tidak boleh tinggal diam. Pemerintah dan DPR yang merevisi UU KPK harus membersihkan ‘ranjau’ itu sampai ke akar-akarnya.

    Tak dipungkiri, sejak UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK berlaku, banyak orang memprediksi bahwa lembaga antirasuah akan kehilangan rohnya. Alih-alih memperkuat KPK, UU hasil revisi itu diyakini masyarakat sipil sebagai ‘senjata’ pelumpuh lembaga pemberantas korupsi. Panjangnya rantai penindakan yang diatur dalam UU baru itu jadi salah satu celah menumpulkan taji KPK.

    Pertanyaannya sekarang, apakah rententan penyimpangan integritas itu menjadi indikator bahwa KPK benar-benar lumpuh? Tentu saja dari pihak KPK akan menjawab lembaga antikorupsi tidak lumpuh. Penindakan tetap berjalan. Buktinya, sudah dua menteri di kabinet pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang diciduk lewat operasi tangkap tangan (OTT). Yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta Menteri Sosial Juliari P. Batubara.

    Di tengah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemberantas korupsi, KPK melalui beberapa pegawai di bagian penindakan mungkin masih bisa diharapkan. Namun situasi kebatinan pegawai yang bertugas di bidang itu saat ini sedang terkoyak seiring perilaku memalukan Robin yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap.

    Sementara di bidang pencegahan dan pendidikan korupsi, KPK semangat mengembangkan program dan kegiatan. Salah satu programnya menarget narapidana (napi) kasus korupsi di Lapas Sukamiskin dan Lapas Kelas IIA Tangerang untuk menjadi penyuluh antikorupsi. Sosialisasi pendidikan antikorupsi juga nyaris tidak pernah berhenti. Bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa.

    Pegawai-pegawai KPK masih bekerja itu fakta. Tapi jika diperhatikan secara saksama mereka seolah bekerja di medan perang yang dipenuhi ranjau mematikan. Ketika salah seorang pegawai apes menginjak ‘ranjau’, suara ledakannya akan terdengar ke berbagai penjuru. Lalu pertanyaan-pertanyaan akan bermunculan di antara mereka ; siapa menginjak ranjau? Apakah penginjak ranjau mati?

    Selain kepada pemerintah dan DPR, kita juga berharap rentetan kejadian penyimpangan oknum pegawai KPK itu sampai ke meja para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini, UU KPK yang dinilai sebagai akar masalah penurunan nilai integritas itu tengah dalam proses gugatan judicial review (JR) di MK. Kabarnya, pembacaan putusan akan dibacakan dalam waktu dekat. Terakhir, saya berharap para pemangku kebijakan, khususnya mereka yang memiliki pengaruh dan kekuasan mau meluangkan waktu untuk menonton serial Vincenzo. Sehingga tahu bahwa pengacara mafia yang sangat jahat sekalipun bisa menjadi sosok yang dielu-elukan banyak orang sebagai seorang pahlawan kebenaran.

Posting Komentar untuk "KPK dan Drama Korea Vincenzo"