Widget HTML Atas


KH. S. Noeryadi Sosok Yang Teguh Pendirian

KH. S. Noeryadi

A. Iftitah 

BESTMU.CO Sosok yang  kita angkat kali ini bernama S Noeryadi bin Mustari (KH. S. Noeryadi) yang akrab dipanggil Pak Nur, lahir di Lamongan tahun 1925 dan wafat 25 Desember 2014.  Riwayat pendidikan: Sekolah Rakyat Desa Sugihan, Madrasah Diniyah Desa Kranji. Melanjutkan ke Pondok Pesantren di Lasem Jawa Tengah, lalu menimba ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Syekh Hasyim As’ari dan terakhir nyantri pada KH. Mohamad Amin Musthafa Tunggul. 

Dalam kehidupan keluarga beliau memiliki dua istri, yakni: Nafsiyah dan Muyassarah.  Dari istri Nafsiyah memiliki 5 orang anak, yaitu: M. Taufiq, Qomarah, A. El Hanif, Sucining Ati dan  Moh. Noh. Dari istri Muyassarah diperoleh keturunan 6 orang anak: Indah Hayati, Farida, A. Muizz, Afrahah, Bustan Firdausi dan Safrilah.

Sahabat beliau ketika mondok di Tebuireng antara lain: KH. Abdullah Faqih, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Widang Tuban dan  KH. Mustain, Pengasuh Ponpes Raudlotul Ilmiyah Kertosono, Nganjuk. Teman seangkatan beliau di Ponpes Tunggul antara lain: KH. Abd. Rahman Syamsuri Pendiri dan Pengasuh Ponpes Karangasem Paciran, KH. Mahbub Ihsan pengasuh Ponpes Al Ma’had Al Islami Tuban dan KH. Najih Ahyat, Pengasuh Ponpes Maskumambang, Dukun, Gresik.

Dari latar belakang pendididikan danl lingkar  pergaulan dengan para ulama terkenal, maka wajar jika beliau terkenal alim dan dipercaya masyarakat memangku jabatan di organisasi dakwah, terutama di persyarikatan  Muhammadiyah, mulai tingkat ranting, cabang dan  daerah.

B. Cikal Bakal Muhammadiyah Payaman

Benih-benih faham Muhammadiyah di Pantura Lamongan sudah ada sebelum Indonesia merdeka, sekitar tahun 1936. Tokoh yang dikenal berfaham Muhammadiyah antara lain KH. Mohamad Amin Musthafa  Tunggul, H. Sa’adullah dan K.H Adnan Nur Blimbing, KH. Abdurahman Syamsuri dll. Namun kehadiran Muhammadiyah  dalam wujud jam’iyah yang eksis dan tersebar luas di wilayah Pantura Lamongan ditengarai baru muncul sekitar tahun 1953-1954, menjelang dan setelah NU keluar dari Masyumi.

Cabang partai Masyumi berkedudukan di Desa Blimbing, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Di bawah cabang ada ranting dan anak cabang. Salah satu anak cabang Masyumi yang cukup kuat berada di Desa Payaman, Kecamatan Solokuro (sebelumnya Kecamatan Paciran) yang memiliki daerah kerja meliputi Desa Payaman, Solokuro, Dadapan, Tenggulun, Tebluru, Sugihan, Bluri, Takeran dan sekitarnya. Masyumi anak cabang Payaman diketuai K. Abdurahman bin K. Mustafa Karim dan sekretaris dijabat oleh Jamin (H. Chudlori).

Setelah NU keluar dari Masyumi berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tanggal 5 April 1952,  K. Abdurahman Musthafa lebih memilih bergabung ke NU, sementara sang sekretaris H. Chudlori  mantap tetap di Masyumi. Ketika itu K. Abdurahman Musthafa bilang kepada H. Chudlori, “Masyumi cekelen, aku nang NU.” “inggih, monggo,” jawab H. Chodlori. “ Mesin ketik iki we’e Masyumi yo tak serahno sampean,” tambah K. Abdurahman Musthafa. Sebagaimana dalam sejarah, NU dan Masyumi menjadi peserta Pemilu pertama tahun 1955, dimana Masyumi meraih posisi kedua dan NU posisi ketiga.

  Masyumi Ancab (anak cabang)  Payaman memiliki sayap organisasi pemuda, bernama GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia)  yang dipimpin antara lain oleh   KH. S. Noeryadi, H. Patah, Abu Maksum, Jayadi dll. Setelah NU keluar dari Masyumi H. Patah, Jayadi dll.  keluar dari GPII   dan merintis GP Anshor. Selanjutnya GPII diketuai KH. S. Noeryadi dan sekretaris Abu Maksum yang di kemudian hari menjelma menjadi Pemuda Muhammadiyah Payaman.

Setelah Masyumi membubarkan  diri karena ultimatum dari Presiden Soekarno pada 15 Agustus  1960, atas istruksi Ketua Patai Masyumi Cabang Blimbing, Partai Masyumi cabang, anak cabang dan ranting bermetamorfosis (berubah wujud) menjadi struktur Persyarikatan Muhammadiyah, termasuk Masyumi Anak Cabang Payaman. Hanya saja setelah berubah menjadi Muhammadiyah tidak lagi berstatus anak cabang tapi menjadi ranting Payaman, yang wilayah hukumnya meliputi Dususn Ringin, Gayam, Sawo, Ngasem, Palirangan dan Bango.

Karena prosesnya metamorfosis dari Masyumi ke Muhammadiyah, maka ketua Masyumi Payaman, H. Chudlori otomatis menjadi ketua ranting, dibantu Muntasam, KH. S. Noeryadi, Abu Maksum dll.

C. Berdakwah Bersama KH. Mahbub Ihsan

Pada tahun 1955 Desa Payaman menyelenggarankan pemilihan petinggi, karena Petinggi Tiben telah habis masa jabatannya. Piltinggi diikuti beberapa calon antara lain: Kastum, Samirin (H. Amin) dan KH. S. Noeryadi. Terpilih ketika itu adalah Kastum.

Selepas Piltinggi, KH. S. Noeryadi mengikuti KH. Mahbub Ihsan berdakwah ke Kalen dan beliau tinggal bersama KH. Mahbub Ihsan di daerah Kalen beberapa tahun lamanya, sampai KH. S. Noeyadi menikah dengan gadis  Balandono yang bernama Nafsiyah dan memiliki 5 anak tersebut di atas. 

Sekitar tahun 1965, menjelang G 30 S PKI, KH. KH. S. Noeryadi kembali berkediaman di Payaman dan membuka usaha perdagangan (toko) bersama Istrinya Nafsiyah. Ada kisah menarik berkaitan perjodohan pada masa lalu. Berdasarkan penuturan anak beliau,  Indah Hayati, KH. S. Noeryadi  pernah bercerita bahwa beliau bercita-cita menuntut ilmu sampai ke Mesir, namun keburu dijodohkan oleh Nyai K. Abdurahman Musthafa dengan seorang gadis cantik bernama Muyassarah yang ketika itu baru berusia 9 tahun. Perkawinan beliau dengan Muyassarah tidak bertahan lama dan akhirnya cerai. Uniknya, setelah beliau kembali ke Payaman bersama istri dari Balandono, Muyassarah semakin tumbuh dewasa dan ikatan batin mulai bersemi kembali. Singkat cerita, beliau menikah kembali dengan Muyassarah dan dikaruniai 6 orang anak seperti tersebut di atas. Beliau menjalani hidup keluarga berbilang istri (poligami).

Kebetulan sejak Petinggi Tiben, Jamin (H. Chodlori) dipercaya sebagai carik pembantu (carik kedua), carik yang pertama dijabat oleh H. Sapuan.  Namun karena H. Chudlori lebih trampil sehingga pada priode petinggi berikutnya H. Chudlori yang lebih berperan melaksanaka tugas-tugas desa, terutama bidang administrasi. Seiring dengan kembalinya KH. S. Noeryadi dan kesibukan H. Chudlori di pemerintah desa, maka rapat pengurus Muhammdiyah ketika itu sepakat mendaulat KH. S Noeryadi sebagai Ketua Ranting Muhammdiyah Payaman yang wilayahnya meliputi Dusun Ringin, Sawo, Gayam, Ngasem Palirangan dan Bango.

Saat Muhammadiyah dipimpin  KH. S. Noeryadi telah memiliki mushala dan Madrasah Ibtidaiyah. Keberadaan Madrasah ini merupakan pembagian “gono-gini” sebagai konsekuensi terbelahnya umat Islam Payaman pasca NU keluar dari Masyumi, terlebih setelah Masyumi dibubarkan.

D.  Keluar dari Masjid Jami’

Setelah Masyumi bubar,  dua ormas besar NU dan Muhammadiyah eksis di Payaman, masing–masing punya sekolah sendiri-sendiri. Namun dalam hal ibadah mahdhah:  shalat jamaah  5 waktu, shalat Jum’at, shalat taraweh dan kegiatan sosial lainya, semacam peringatan hari besar Islam, umat Islam  Payaman (NU dan Muhammadiyah) masih menggunakan satu masjid, yakni masjid Jami’ desa Payaman. 

Takmir masjid yang personilnya dari unsur pemerintah desa, NU dan Muhammadiyah telah membuat kesepakatan pengelolaan masjid, khususnya jadwal penggunaan masjid untuk shalat jamaah maktubah, taraweh dan Jum’atan. Pengelolaan masjid dibagi mingguan antara NU dan Muhammadiyah dengan berpatokan pada hari Jumat digabung dengan hari pasaran Jawa: Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon, secara bergantian.  Misalnya, Jumat Legi untuk NU, Jumat Pahing untuk Muhammadiyah demikian seterusnya. Bila Jumat legi itu giliran NU, maka hari Sabtu sampai dengan Kamis (berakhir shalat Ashar) pengelolaan masjid ala faham NU. Adzan Jumat 2 kali, beduk dibunyikan, habis shalat dzikir berjamah dengan suara keras,  adzan subuh sekali dan masalah khilafiah lainnya.  Begitu masuk malam Jumat Pahing giliran Muhammadiyah punya kuasa, adzan Jumat sekali, beduk tidak dipakai, dzikir setelah shalat sirri, adzan subuh 2 kali, adzan awal pakai taswib dan adzan Subuh tidak pakai taswib dsb. Hal demikian berlaku juga saat bulan Ramadhan, NU dengan bilangan taraweh 23 rakaat, Muhammadiyah 11 rakaat.

Meskipun penggunaan masjid telah diatur sedemikian rupa, masih sering terjadi letupan emosional yang dilatarbelakangi perbedaan madzhab fikih. Penulis, yang saat itu berusia remaja sering melihat khatib yang berbeda organisasi sering sindir dan mengkritik. Pernah terjadi, entah bagaimana asal muasalnya, tiba-tiba pada hari Jumat yang giliran Muhammadiyah ada yang ‘nyelonong’ adzan sebelum khatib naik mimbar. Esok paginya kulit beduk masjid  sudah robek dengan bekas sayatan pisau.

Melihat kondisi ibadah yang kurang nyaman antara umat NU dan Muhammadiyah, KH. S Noeryadi sebagai ketua PRM mengajak jamaah Muhammadiyah keluar dari Masjid Jami’. Namun ada beberapa tokoh Muhammadiyah yang tidak berkenan, antara lain: H. Chudlori, Abu Maksum, H. Bondo dll. dengan alasan agar umat Islam Payaman  tetap bersatu, meskipun beda pendapat dalam hal-hal yang furu’, alasan yang kedua karena Muhammadiyah belum punya masjid. 

Meskipun sebagian tokoh Muhammadiyah non struktural dengan  diikuti beberapa warga  Muhammadiyah tidak mendukung keluar dari Jami, KH. S. Noeryadi yang dikenal teguh pendirian tetap menyerahkan mandat kepengurusan masjid Jami' kepada kepala desa atas nama Muhammadiyah pada 31 Mei 1984. Dengan membuat tempat ibadah yang terbuat dari bambu dengan lantai sesek (anyaman bambu). Muhammadiyah memulai Jumatan sendiri di tempat tersebut pada Jumat Wage 6 Juni 1984,setelah renovasi masjid Jami' berjalan satu tahun

Di tempat yang dharurat dan sederna itulah, KH. S Noeryadi bersama jamaahnya dapat beribadah lebih tenang dan khusyu’ tanpa ada hiruk pikuk perbedaan fikih.  KH. S. Noeryadi jebolan Pondok Pesatren Al Amin Tunggul yang diasuh KH. Mohamad Amin Musthafa memiliki pengetahuan agama yang mumpuni. Di pusat kegiatan yang baru ini (sekarang tempat itu dikenal Pesantren Al Jihad Payaman) KH.  S. Noeryadi membina jamaah Muhammadiyah dengan serius dan istiqomah. 

Kegiatan paling favorit dan banyak peminatnya yang diasuh beliau adalah pengajian tafsir Al Qur’an bakda Jumat. Beliau menggunakan rujukan beberapa tafsir, antara lain: Tafsir Jalalain, Ibnu Katsir, Al Maraghi dsb. Ada juga pengajian malam Rabu untuk anggota Muhammadiyah dan pengajian lainnya. Aisyiyah juga aktif mengadakan pengajian yang kebetulan diketuai Ibu Muyasarah, yang tidak lain adalah istri beliau sendiri.

Pada berbagai macam kegiatan pembinaan/pengajian, KH. S Noeryadi lebih fokus pada pembinaan akidah warga Muhammadiyah, terutama pemberantasan penyakit TBC (tahayul, bid’ah dan khurafat). Pendapat beliau yang dianggap keras, meskipun oleh orang Muhammadiyah sendiri, yakni mengharamkan membuat ketupat pada hari raya ketupat. Dengan alasan, beliau khawatir orang yang membikin  ketupat itu punya keyakinan kalau  membikin ketupat di hari raya ketupat itu perintah agama, padahal hari raya ketupat itu sesungguhnya tidak ada.

E. Memulai Pembangunan Masjid Al Jihad Permanen

KH. S. Noeryadi (Nomor 2 dari kiri, saat memanjangkan patok 1 Masjid Al Jihad Payaman).

Setelah beberapa tahun shalat Jumat dan kegiatan lainnya di tempat sementara, maka timbul tekat yang kuat dari warga Muhammadiyah untuk segera merealisasikan keinginan mempunyai masjid yang representatif.  Berkembang wacana di kalangan warga Muhammadiyah tentang tempat masjid yang akan dibangun. Ada yang berkeinginan masjid dibangun di Dusun Sawo, sebelah Barat Mushala An Nur (dulu masih langgar kecil) karena Muhammadiyah punya tanah kosong di tempat tersebut. Ada juga wacana sebaiknya dibangun di sebelah Barat Madrasah agar menjadi satu tempat dengan perguruan Muhammadiyah. KH. S Noeryadi dan beberapa pengurus Muhammadiyah, termasuk dari angkatan muda menghendaki masjid dibangun di “Klayar”, tempat yang sekarang ini berdiri masjid Al Jihad.

Alasan dipilih tempat pembangunan masjid Jihad di “klayar”, sebutan yang terkenal tempat itu di masyarakat Payaman, karena di tempat itu ada calon tanah wakaf yang akan diberikan  ke Muhammadiyah jika Muhammadiyah berani membangun masjid di tempat itu. Disamping itu juga ada warga yang mau menjual tanah ke Muhammdiyah jika dibangun masjid. Terlebih lagi di tempat yang akan dibangun masjid itu sebelah Barat dan Utara adalah tanah negara (tanah gogol) yang sangat mungkin untuk dimohonkan menjadi tanah masjid

Penulis dan beberapa teman angkatan muda sangat setuju masjid di bangun di Klayar, mengingat Klayar adalah tempat yang strategis dan memiliki prospek yang cerah di masa depan. Ketika itu sudah ada slentingan bahwa Payaman akan menjadi ibu kota kecamatan, walaupun nama kecamatannya adalah Solokuro, sebagai konsekuensi kenaikan status dari Kemantren Solokuro yang kantornya ada di Payaman.  

Banyak orang memprediksi, termasuk penulis bahwa pusat pemerintahan Kecamatan Solokuro ada di Tlogo Ploso, termasuk di dalamnya Klayar. Karena di tempat ini tanah negara masih cukup luas. Hanya saja sebagian masyarakat Payaman masih percaya bahwa Klayar tempat yang “singit” (angker) dan pusat penularan penyakit kusta karena penderita kusta yang wafat di kubur di Klayar

Saat itu penulis berkirim surat kepada redaksi Suara Muhammadiyah  mempertanyakan prihal penularan  penyakit kusta dan tim dokter SM menjawab bahwa orang yang telah meninggal tidak bisa lagi menularkan penyakit kusta karena kuman yang ada ditubuhnya juga ikut mati. 

Penulis bersama ustadz Rif’an Taslim selaku panitia pembangunan diberi tugas KH. S Noeryadi untuk bersilaturahmi sekaligus mensosialisasikan jawaban tim SM kepada beberapa tokoh Muhammadiyah dan Kades, yakni H. Kasnawi, H. Bondo, H. Chudlori (tokoh (sekdes) dan H. Amin (petinggi) agar mereka memberikan dukungan penuh pembangunan masjid Al Jihad.

Hal yang menggembirakan datang dari Sekdes H. Chudlori yang memberikan dukungan penuh bahkan bersedia menfasilitasi jika tanah negara (GG) di Klayar dibutuhkan untuk masjid dengan catatan jika pak petinggi bersetuju. Beliau berpesan, “ Kalau nanti Pak Petinggi bertanya soal tanah, bilang bahwa saya sudah menyetujui.” Maka penulis bersama ustadz Rif’an menghadap Petinggi H. Amin dan mengutarakan rencana  Muhammadiyah membangun masjid di Klayar serta minta izin menggunakan tanah negara yang di Klayar. Beliau berkata, “ Kalau soal tanah menghadap dulu ke Pak Carik.”  Penulis menjawab bahwa Pak Carik sudah setuju. Serta merta beliau menyatakan, “ Kalau Muhammadiyah berani membangun masjid di Klayar silakan tanah Klayar dipakai semua.”

Setelah warga Muhammadiyah kompak dan didukung pemerintah desa, maka pada tanggal 21 Mei 1989 bertepatan 15 Syawal 1409 dilakukan upacara serimonial menancapan  patok di 4 (empat) sudut masjid yang masing-masing dilakukan oleh: KH. S Noeryadi (patok 1), H. Chudlori (patok 2), H. Kasnawi (patok 3) dan H. Amin (patok 4) sebagai pertanda pembangunan masjid Al Jihad dimulai.

F. Alih Generasi

KH. S. Noeryadi, (nomor 3 dari kanan saat dilantik sebagai PCM Paciran oleh Ketua PDM Lamongan, KH. Abfurahman Syamsuri)

     KH. S Noeryadi disamping menjadi Ketua Ranting Muhammadiyah Payaman sejak 1965 – 1990  (25 tahun) juga masuk sebagai salah seorang Pimpinan Muhammadiyah Cabang Paciran, bahkan pernah menjadi bendahara PDM Lamongan di masa ketuanya KH. Abdurhaman Syamsuri.

Di bawah kepemimpinan beliau Muhammadiyah Payaman terus bergerak maju, disamping memiliki masjid sendiri  juga punya pesantren Al Jihad, tempat anak-anak santri belajar Al Qur’an. Saat Muhammadiyah Payaman berdiri baru memiliki pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah. Di saat beliau menjabat ketua ranting berdiri PGA 4 Tahun  yang berubah menjadi Madrasah Tsnawiyah Muhammadiyah dan berikutnya berdiri Madrasah Aliyah muhammadiyah. Di zaman beliau pula Muhammadiyah Ranting Payaman berkembang menjadi 3 ranting, yakni Ranting Payaman sendiri, Ranting Palirangan dan Ranting Bango. 

Sesuai tuntutan organisasi, pada tahun 1990 Muhammadiyah Ranting Payaman mengadakan Musyawarah Ranting, beliau kurang sependapat kalau ada pengutan suara untuk menjadi pimpinn ranting, maka beliau tidak mencalonkan diri dan menyerahkan kepada anggota Musyran dan berharap ada alih generasi.

Setelah Musyran beliau tidak terlibat lagi di kepemimpinan formal Muhammadiyah, namun masih aktif mengasuh pengajian di masjid Al Jihad. Belakangan beliau bergabung dengan kelompok Salafi yang berpusat di Sugihan bersama Ustadz Nurul Yaqin alumni Madinah. Seiring kondisi fisik beliau yang mulai melemah, beliau banyak tinggal di rumah sampai dipanggil oleh Allah pada tanggal 25 Desember 2014 M bertepatan dengan 1 Dzulhijjah 1435 H. Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi-Nya dan semua dosanya diampuni oleh-Nya.Amiin.

Penulis: H. A. Zahri, S.H, M.HI

1 komentar untuk "KH. S. Noeryadi Sosok Yang Teguh Pendirian"

  1. Tulisan bagus dengan sumber utama mbah Abu Maksum sebagaimana yang disampaikan kepada saya.

    Pak Rif an selalu sekretaris PRM di zaman pak S Nuryadi banyak terlibat kebijakan PRM Payaman dan AUM Pendidikan.

    BalasHapus

Posting Komentar