Etika Menggunakan MEDSOS (Part 3)
Oleh: A. Zahri
Berita yang perlu dikonfirmasi adalah berita penting, ditunjukkan dengan digunakannya kata naba’ untuk menyebut berita, bukan kata khabar. M. Quraish Shihab dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi halaman 262 membedakan makna dua kata itu. “Kata naba’ menunjukkan berita penting, sedangkan khabar menunjukkan berita secara umum. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu ringan, omong kosong, dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi.”
Berita dikatagorikan penting manakala menyangkut ajaran pokok suatu agama, ideologi negara, berkaiatan dengan kebijakan pimpinan yang berdampak luas dan menyangkut hajat hidup orang banyak dan lain-lain.
Kehidupan di era globalisasi dan informasi teknologi meniscayakan umat Islam memiliki akses dan media informasi yang terpercaya serta memiliki jangkauan yang merata, baik di tingkat lokal, nasional maupun golobal. Sebuah pameo : ”Siapa yang menguasai informasi maka dia akan menguasai dunia” sudah bukan merupakan slogan hampa namun telah menjadi kenyataan.
Informasi sudah dianggap sebagai “power” yang diartikan sebagai “kekuatan” dan “kekuasaan”. Naiknya Bpk Jokowi sebagai presiden tidak lepas dari peran media informasi yang di-setting sedemikian rupa.
Umat Islam lemah dalam penguasaan media informasi dan akses informasi sehingga sering menjadi korban informasi, bahkan menjadi bulan-bulanan, padahal al Qur’an mendorong agar umat Islam aktif mencari informasi dan memilih serta memilah mana yang bermanfaat bagi kepentingan pribadi dan umat secara luas.
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَه أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَ [الزمر: 18]
Orang-orang yang berupaya mendengan perkataan (mencari informasi) lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Setelah informasi kita terima lalu kita olah sedemikian rupa, mana informasi sampah atau residu/hoax, mana yang berbobot dan berkualitas serta memberi nilai tambah dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Jika informasi itu sudah menyebar dan belum jelas kebenarannya karena sulit atau tidak mungkin diklarifikasi maka lebih baik diam/tawaquf untuk menghindari kerusakan dan kegaduhan yang lebih parah.
Contoh kasus, ketika seorang terduga teroris ditangkap oleh aparat yang berwenang dan mereka menjelaskan bahwa teroris tersebut dari jamaah a, b dan c misalnya, serta merta semua orang seperti koor membenarkan berita itu secara taken of granted. Mereka percaya bahwa terduga teroris itu dari kelompok Islam. Akibat dari informasi tersebut, sebagian umat Islam menjadi terpojok dan terkucil, dan bisa jadi terdhalimi.
Dalam persoalan seperti ini seharusnya orang Islam berhati-hati, jika tidak mengetahui informasi secara persis, maka harus bersikap tawaqquf (diam), menunggu proses hukum selanjutnya, jangan terburu-buru memberikan respon, pendapat, analisa, statemen atau sikap terhadap orang lain yang pada akhirnya tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Teladan untuk bertawaqquf terhadap berita yang tidak jelas ini pernah diberikan oleh Rasulullah saw dan para shahabat ra ketika terjadi berita dusta mengenai diri Aisyah. Orang-orang munafik sengaja menyudutkan Aisyah, yang tertinggal di tengah padang pasir sekembali dari perang Bani Mushthaliq. Mereka menuduhnya telah melakukan selingkuh dengan orang lain. Para shahabat yang telah teruji keimanannya ketika ditanya tidak ada yang mau memberikan komentar, hingga akhirnya Allah swt menjelaskan persoalan itu yang sebenarnya. Dan dengan berhati-hatinya terhadap berita ini menjadikan kaum mukminin terhindar dari penyesalan, karena menfitnah orang, apalagi dia Ummul Mukminin.
Sebagai seorang yang beriman dituntut kehati-hatian dalam menyikapi informasi atau berita yang beredar di dunia maya, khususnya media sosial. Jika termasuk naba’ (informasi penting) dan masih meragukan sebaiknya tabayun (klarifikasi) ke sumber berita, namun bila sumbernya jelas, isinya yang meragukan bisa tabayun ke pihak yang berkompeten. Untuk berita-berita yang tidak penting dan belum diketahui kebenarannya, diabaikan saja, tak perlu buang energi untuk klarifikasi.
Untuk posting informasi ke ranah publik disamping beritanya harus valid perlu dipertimbangkan pula sisi manfaat dan maslahanya bagi kehidupan bersama. Setiap muslim harus hati-hati untuk menyampaikan informasi kepada orang lain, tidak semua yang kita terima perlu kita sampaikan kepada orang lain. Dalam hal ini Rasulullah saw mengkategorikan sebagai pembohong bagi setiap orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, sebagaimana sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قال : كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا، أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw beliau bersabda, "Cukuplah seseorang (dianggap) berdusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar." (HR. Muslim)
Agar tidak masuk katagori pendusta dalam menggunakan media sosial, maka setiap informasi penting yang dijadikan pegangan atau dasar mengambil tindakan (posting) harus jelas sumbernya, isinya tidak bertentangan dengan norma agama, hukum dan kesusilaan serta membawa maslahah bagi kehidupan individu dan masyarakat. Wallahu a’lam bi shawab.
Posting Komentar untuk "Etika Menggunakan MEDSOS (Part 3)"
Posting Komentar