Widget HTML Atas


Etika Menggunakan MEDSOS (Part 2)

Oleh : A. zahri

Surat al-Hujurat secara keseluruhan merupakan panduan dalam bermuamalah antara sesama manusia, membimbing bagaimana cara berinteraksi dengan sesama  yang unggul dan mulia. Bersumber dari pembuat aturan yang menciptakan makhluk yang butuh aturan demi kemaslahan mahkluknya di dunia dan akhirat. Dalam beberapa ayat sebelum ayat ini  mengajarkan bagaimana bersikap yang benar terhadap Rasulullah, bagaimana bersikap yang baik terhadap sesama mukmin, dan juga mengajarkan kewajiban dan tanggung jawab terhadap masyarakat Islam. Petunjuk-petunjuk tersebut bertujuan untuk menjaga dan memelihara keutuhan masyarakat Islam, dijauhkan dari tipu daya  musuh, maupun kecerobohan internal umat Islam yang membahayakan masyarakat Islam itu sendiri.


Setiap individu maupun kelompok, apakah kelompok besar ataupun kecil pasti punya problemnya masing-masing, karena hidup memang rangkaian dari masalah.  Tidak ada kehidupan tanpa masalah, justru dengan berbagai masalah itulah manusia hidup. Demikian juga yang dihadapi oleh kaum muslimin dan masyarakat Islam. Berbagai masalah muncul di hadapan mereka untuk dihadapi dan diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Dalam menyelesaikan masalah ini, ada satu faktor kunci yang menjadi dasar pijakan, yaitu informasi. Bagaimana pun, seseorang mengambil keputusan berdasarkan kepada pengetahuan, dan pengetahuan bergantung kepada informasi yang sampai kepadanya. Jika informasi itu akurat, maka akan bisa diambil keputusan yang tepat. Sebaliknya, jika informasi itu tidak akurat akan mengakibatkan munculnya keputusan yang tidak tepat. Dan giliran selanjutnya, muncul kedhaliman di tengah masyarakat.

Turunnya ayat ini untuk mengajarkan kepada kaum muslimin agar berhati-hati dalam menerima berita dan informasi. Sebab informasi sangat menentukan mekanisme pengambilan keputusan, dan bahkan entitas keputusan itu sendiri. Keputusan yang salah akan menyebabkan semua pihak merasa menyesal. Pihak pembuat keputusan merasa menyesal karena keputusannya itu menyebabkan dirinya mendhalimi orang lain. Pihak yang menjadi korban pun menderita karena mendapat perlakuan yang tidak semestinya, tidak wajar dan adil. Maka jika ada informasi yang berasal dari seseorang yang majhul (tidak dikenal) atau integritas kepribadiannya diragukan harus diperiksa terlebih dahullu.

Fokus pertama pada ayat ini adalah kualitas pembawa berita, yakni berita yang dibawa orang fasik. Menurut para ulama orang fasik adalah  orang yang banyak berbuat dosa, terutama dosa besar. Berdusta termasuk dalam salah satu dosa besar, berdasarkan sabda Rasulullah saw;

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ  قَالَ قَالَ النَّبِيُّ  أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ

Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari bapaknya, dia berkata, Nabi saw. bersabda, “Perhatikanlah, maukah aku tunjukkan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?” Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian para Sahabat mengatakan, “Tentu wahai Rasûlullâh.” Beliau bersabda, “Syirik kepada Allâh, durhaka kepada kedua orang tua.”  Sebelumnya Beliau bersandar, lalu Beliau duduk dan bersabda, “Perhatikanlah! dan perkataan palsu (perkataan dusta)”, Beliau selalu mengulanginya sampai kami berkata, “Seandainya Beliau berhenti”.  (HR al-Bukhari dan Muslim)

Berdusta/berbohong, bahasa kerennya menyampaikan berita hoax, apakah berita itu penting, kurang penting atau tidak penting  adalah kebiasaan yang sangat tidak baik dan berdampak meluruhkan kredibilitas pembawanya, maka wajar ketika  bai’at Aqabah Rasulullah saw memasukkan unsur ‘tidak berdusta’ ke dalam salah satu point bai’at.

Dalam soal klarifikasi berita yang berasal dari orang yang majhul (belum diketahui kepribadiannya) atau berkepribadian tercela atau integritasnya diragukan, ada teladan yang indah dari ahli hadis. Mereka telah mentradisikan tabayyun ini di dalam meriwayatkan hadis. Mereka menolak setiap hadis yang berasal dari pribadi yang tidak dikenal identitasnya (majhul hal), atau pribadi yang diragukan intgritasnya (dla’if). Sebaliknya, mereka mengharuskan penerimaan berita itu jika berasal dari seorang yang berkepribadian kuat (tsiqah). Untuk itulah kadang-kadang mereka harus melakukan perjalanan berhari-hari untuk mengecek apakah sebuah hadis yang diterimanya itu benar-benar berasal dari sumber yang valid atau tidak.

Tetapi sayang, tradisi ini kurang diperhatikan oleh umat muslim saat ini, terutama setelah maraknya penggunaan Medsos (media sosial). Pada umumnya orang begitu mudah percaya kepada berita yang beredar di media sosial, yang tanpa kontrol dan sensor itu. Lewat grup WA, facebook, BBM dll, informasi cepat menyebar karena kebanyakan para Netizen langsung copas (copy paste) tanpa berfikir apalagi klarifikasi. Yang paling konyol, umat Islam mudah pula percaya berita yang bersumber dari orang kafir, padahal kekufuran itu adalah puncak kefasikan. Oleh karenanya,  dalam pandangan ahlul hadis, orang kafir sama sekali tidak bisa dipercaya periwayatannya.

Posting Komentar untuk "Etika Menggunakan MEDSOS (Part 2)"